Minggu, 17 Oktober 2010

Cinta dan Militer

Sebenernya aku gak tau mau ngasih judul apa untuk tulisan aku ini. Namun, yang terlintas di kepalaku ya hanya dua itu: cinta dan militer. Kedua kata yang mungkin dianggap oleh sebagian orang sebuah kata yang bertentangan, tapi sebenarnya keduanya sangatlah berdekatan.

Cinta. Sebuah hal yang sulit dideskripsikan. Seorang tokoh bernama Sternberg pernah mendeskripsikannya cinta dan membaginya menjadi romantic love, companionate love, fatuous love, dan consummate love. Menurut aku, itu gak masalah. Masalahnya adalah setiap orang punya penafsiran sendiri tentang cinta, termasuk aku. Aku baru saja jatuh cinta dengan seorang pria. Dia pria yang luar biasa. Luar biasa keberaniannya, luar biasa baiknya, luar biasa sopan santunnya, dan luar biasa rasa cintanya kepadaku.

Kami berkenalan di daerah pinggiran Indonesia, ya memang pinggiran karena daerah ini terletak di perbatasan NKRI-Papua Nugini. Dia bukan orang Papua, tapi dari Pinrang, Sulawesi Selatan. Untuk apa orang Sulawesi ada di Papua? Dia bukan transmigran, bukan pula orang pemerintahan, tapi dia orang militer. Dia bertugas menjaga keutuhan negara ini dengan menjadi Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas). Dia dari bagian Infanteri, Batalyonnya terletak di Nabire. Yonif 753/ Arga Vira Tama.

Dia orang militer pertama yang dekat sama aku. Dia dengan berani mendekati aku yang waktu itu pernah jutek sama dia dan bahkan pernah menolak dia mentah-mentah.Namun, akhirnya aku luluh dengan usahanya. Suatu malam, dengan beraninya dia ngajak aku untuk ngobrol berdua dan aku mengiyakannya karena ngerasa gak enak sama dia. Awalnya aku cuma mau ngobrol sejam aja, tapi setelah satu jam aku merasa nyaman sama dia. Omongan kita mengalir gitu aja dan aku merasa cocok. Dia sama sekali tidak menunjukkan arogansinya sebagai orang militer, yang aku tangkap saat itu malah dia merasa rendah diri jika dibandingkan dengan orang sipil. Dia banyak cerita mengenai tugasnya di kompi dan bagaimana kesehariannya di kompi. Dia juga cerita tentang awal mulanya ia masuk militer. Dia bercerita bagaimana sullitnya pendidikan militer. Dia juga bercerita tentang suka dan dukanya saat harus bertugas di daerah terpencil. Cerita-cerita yang unik, mengharukan, sekaligus menyedihkan yang mungkin tidak bisa aku lupakan.

Saat berhubungan denganku, dia sangat santun. Dia bisa menjaga tubuhnya dengan baik saat kami hanya ngobrol berdua di tengah gelapnya malam. Dia siap membantu aku dan teman-temanku dalam mempersiapkan lokasi acara dan koordinasi dengan warga. Dia juga bisa romantis dengan memberiku beberapa hadiah yang sangat ku suka. Dia memberikanku kejutan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dia bisa merubah pandangan negatif militer Indonesia di kepalaku. Dia selalu berpesan kepadaku untuk tidak menganggap orang militer sebagai orang yang kasar dan aku akan selalu mengingat pesannya itu.

Sayang, kami harus berpisah. Aku harus kembali ke Jakarta dan dia tetap di sana. Bulan depan dia akan meninggalkan tempat kenangan kami karena masa tugasnya sudah selesai sehingga ia harus kembali ke Nabire. Saat ini, aku mengingatnya dalam seragam loreng hijaunya. Dia terlihat sangat gagah dan charming dengan seragam itu. Seragam loreng hijau yang kulihat itu bukan menggambarkan keangkuhan dan kesombongan pribadi, melainkan menggambarkan kecintaan kepada negeri. Sebuah seragam yang penuh dengan rasa pengabdian kepada Indonesia. Dulu aku bisa melengos acuh tak acuh jika melihat seragam loreng hijau, sekarang senyumku akan otomatis terkembang apabila aku melihat pria dengan seragam loreng hijau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar